Minggu, 12 April 2009

Exhibition, workshops, discussions, and award for the best works by OK.Video



ruangrupa present / mempersembahkan:
OK. VIDEO: COMEDY
4th Jakarta International Video Festival 2009

Exhibition, workshops, discussions, and award for the best works
Pameran, lokakarya, diskusi & penghargaan karya terbaik
28 July - 9 August 2009
National Gallery of Indonesia
Galeri Nasional Indonesia

KOMEDI adalah cara ampuh untuk melepaskan diri dari kecemasan. Sebagai kecaman kritis yang menyamar sebagai hiburan, komedi membuat kita bisa merefleksikan segala sesuatu, menertawakan diri sendiri, memprotes tanpa amarah, dan mengubah celaka menjadi jenaka. Sebagai cara berkomunikasi, komedi tak pernah mati dan telah menemani masyarakat sejak dulu, dari komedi yang menggunakan medium tubuh hingga kini dalam bahasa audio-visual.

OK. Video: Comedy akan melihat komedi sebagai bentuk komunikasi melalui medium video yang membicarakan berbagai permasalahan saat ini secara kritis. Dari permasalahan kota, politik, kekuasaan, modernitas, teknologi, ekonomi, generasi, gender, tradisi, agama, media massa, identitas, budaya pop, seni, keseharian, sampai pemilihan umum. OK. Video Festival fokus pada karya-karya video non-naratif (tanpa cerita) dan terbuka bagi rekonstruksi, manipulasi rekaman, dan berbagai eksperimen bahasa audio-visual. Kami menerima video dengan berbagai pendekatan komedi, dari lelucon, parodi, absurd, satir, sarkastik, vulgar, tabu, hingga komedi tragis.

---

Video format: DVD, mini DV - PAL and multimedia file
with the duration of 3 to 15 minutes
Kami menerima video dalam format: DVD, mini DV-PAL dan file multimedia
dengan durasi 3 sampai 15 menit
produced in 2007 – 2009
karya produksi tahun 2007 - 2009

Batas waktu: 31 Mei 2009
Biaya pendaftaran: gratis

Kirimkan karya Anda ke:

ruangrupa
Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.6
Jakarta
12820
INDONESIA

p/f: +62-21-8304220
info@okvideofestival.org
info@ruangrupa.org

---

OK. Video - Jakarta Internasional Video Festival adalah festival video dua tahunan yang diselenggarakan sejak 2003 oleh ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta, Indonesia. OK. Video merupakan salah satu kegiatan ruangrupa untuk membahas fenomena sosial dan budaya di Indonesia dan dunia internasional dalam sebuah festival dengan tema spesifik.

---
untuk informasi selengkapnya, hubungi:

Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.6
Jakarta
12820
INDONESIA

p/f: +62-21-8304220
e-mail: info@ruangrupa.org
Selengkapnya...


Siapa Asrul Sani



Siapa yang tak kenal dengan Asrul Sani?

Asrul Sani, sosok tokoh yang multi talenta Indonesia. Lahir di Rao, Pasaman, suatu daerah di sebelah utara Sumatra Barat, pada tanggal 10 Juni 1926. Terlahir sebagai keturunan dari keluarga kerajaan, yang ayahnya seorang raja bergelar “Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti Rao Mapat”. Dan dari seorang ibu yang penuh perhatian, diusia dini ia sudah mendengar cerita “Surat Kepada Radja” karya Tagore.
Ada yang menyebutkan bahwa Asrul kecil memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (HIS), Bukittinggi, pada tahun 1936. Adapula yang mengatakannya masuk di SR “Sekolah Rakyat”. Yang pasti lalu, ia masuk ke SMP Taman Siswa, Jakarta (1942). Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1955, sebagai alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, jadilah ia seorang dokter hewan. Namun kecintaannya pada dunia sastra dan peran membawanya untuk mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), kemudian memperdalam pengetahuan dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), dilanjutkan dengan Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya sebagai Sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka.
Sisi lain dari Asrul, kembali saat bertemu Usmar Ismail, tokoh perfilman kala itu. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.
Beliau juga pernah menjadi Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, lan anggota Akademi Jakarta (salami gesang). Tahun 2000 Asrul nampi penghargaan Bintang Mahaputra saking Pamaréntah RI.
Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”, “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup” dan lain-lain.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 77 tahun karena usia tua dan meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet.
Selengkapnya...


Lomba Bikin Film via Handphone



Sinema Kine Klub - Senakki
Gedung Film lantai 2
Jalaan MT Haryono kav 47-48 Pancoran
Jakarta Selatan

Lomba Bikin Film via Handphone:

terbuka untuk umum (siapa saja boleh ikut)
film yang dibuat adalah film cerita
film berdurasi maksimal 5 menit
film dibuat dengan menggunakan media handphone (hp)
film peserta diserahkan ke panitia dalam bentuk CD
penyerahan materi film dilengkapi data teknis
batas akhir penyerahan materi film 24 april 2009
pengumuman pemenang 26 april 2009
disediakan hadiah jutaan rupiah untuk para pemenang

dikirimkan ke:
Sinema Kine Klub - Senakki
Gedung Film lantai 2
Jalaan MT Haryono kav 47-48 Pancoran
Jakarta Selatan

More Info:
Akhlis Suryapati 0811 145242
Selengkapnya...


Jenis-jenis Film Umum



Jenis-jenis Film
-----------------------------------------

Film Dokumenter (Documentary Films)
Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata ‘dokumenter’ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas (Susan Hayward, Key Concept in Cinema Studies, 1996, hal 72). Sekalipun Grierson mendapat tentangan dari berbagai pihak, pendapatnya tetap relevan sampai saat ini. Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata mungkin.
Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dari film dokumenter misalnya dokudrama (docudrama). Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita demi tujuantujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan.
Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, film dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup memuaskan. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap menasbih diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk konsumsi televisi, film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam dan luar negeri. Sampai akhir penyelenggaraannya tahun 1992, Festival Film Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film dokumenter.
Di Indonesia, produksi film dokumenter untuk televisi dipelopori oleh stasiun televisi pertama kita, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Beragam film dokumenter tentang kebudayaan, flora dan fauna Indonesia telah banyak dihasilkan TVRI. Memasuki era televisi swasta tahun 1990, pembuatan film dokumenter untuk televisi tidak lagi dimonopoli TVRI. Semua televisi swasta menayangkan program film dokumenter, baik produksi sendiri maupun membelinya dari sejumlah rumah produksi. Salah satu gaya film
dokumenter yang banyak dikenal orang, salah satunya karena ditayangkan secara serentak oleh lima stasiun swasta dan TVRI adalah Anak Seribu Pulau (Miles Production, 1995).
Dokudrama ini ternyata disukai oleh banyak kalangan sehingga sekitar enam tahun kemudian program yang hampir sama dengan judul Pustaka Anak Nusantara (Yayasan SET, 2001) diproduksi untuk konsumsi televisi. Dokudrama juga mengilhami para pembuat film di Hollywood. Beberapa film terkenal juga mengambil gaya dokudrama seperti JFK (tentang presiden Kenedy), Malcom X, dan Schindler’s List.

Film Cerita Pendek (Short Films)
Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan juga Indonesia, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi.

Film Cerita Panjang (Feature-Length Films)
Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih 120 menit. Film-film produksi India rata-rata berdurasi hingga 180 menit.


Film-film Jenis Lain
-------------------------------------
Profil Perusahaan (Corporate Profile)
Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu berkaitan dengan kegiatan yang mereka lakukan, misal tayangan “Usaha Anda” di SCTV. Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi atau promosi.
1.4.2 Iklan Televisi (TV Commercial)
Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaran informasi, baik tentang produk (iklan produk) maupun layanan masyarakat (iklan layanan masyarakat atau public service announcement/PSA). Iklan produk biasanya menampilkan produk yang diiklankan secara eksplisit, artinya ada stimulus audio-visual yang jelas tentang produk tersebut. Sedangkan
iklan layanan masyarakat menginformasikan kepedulian produsen suatu produk terhadap fenomena sosial yang diangkat sebagai topik iklan tersebut. Dengan demikian, iklan layanan masyarakat umumnya menampilkan produk secara implisit.

Program Televisi (TV Programme)
Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi. Secara umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan noncerita. Jenis cerita terbagi menjadi dua kelompok yakni fiksi dan nonfiksi. Kelompok fiksi memproduksi film serial (TV series), film televisi/FTV (populer lewat saluran televisi SCTV) dan film cerita pendek. Kelompok nonfiksi menggarap aneka program pendidikan, film dokumenter atau profil tokoh dari daerah tertentu. Sedangkan program non cerita sendiri menggarap variety show, TV quis, talkshow, dan liputan berita (news).

Video Klip (Music Video)
Video klip adalah sarana bagi produser music untuk memasarkan produknya lewat medium televisi. Dipopulerkan pertama kali lewat saluran televisi MTV tahun 1981. Di Indonesia, video klip ini sendiri kemudian berkembang sebagai bisnis yang mengiurkan seiring dengan pertumbuhan televisi swasta. Akhirnya video klip tumbuh sebagai aliran dan industri tersendiri. Beberapa rumah produksi mantap memilih video klip menjadi bisnis utama (core busines) mereka. Di Indonesia tak kurang dari 60 video klip diproduksi tiap tahun.
Selengkapnya...


Rabu, 08 April 2009

Sejarah Film Indonesia - part 1



Oleh Abdul R S El midanny

Film pertama kali lahir diparuh kedua abad 19, dibuat dengan bahan dasar seluloid yang sangat mudah terbakar, bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sesuai perjalanan waktu, para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film agar lebih aman, lebih mudah diproduksi dan lebih enak ditonton .
Untuk memahami sejarah perfilman di Indonesia, situasi social bahkan pergolakan politik yang langsung ataupun tidak melatari perkembanganya perlu dimengerti dengan baik terlebih dahulu Seperti yang diungkapkan oleh seorang pakar film Sigfried Kracauer “Umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita dan perkembaangan film suatu bangsa hanya dapat difahami secara utuh dalam hubunganya dengan pola psikologis aktual bangsa itu” . Jika sebuah situasi sosial, urbanisasi dan diferensiasi kerja menunjukan terbentuknya suatu struktur yang akhirnya memberi kemungkinan bagi tumbuhnya hiburan yang bercorak bazaar, seperti film ini, maka pertumbuhan budaya kota, adalah situasi cultural yang menyalurkan simbol-simbolnya lewat media film itu.

Sejarah tentang perfilman Indonesia dimulai sejak 5 Desember 1900 M, pada saat itu masyarakat Kota Jakarta (dulunya disebut Kota Batavia) untuk pertama kali mendapat kesempatan melihat gambar idoep (Film) . Tepatnya selang beberapa tahun setelah “benda ajaib” itu diperkenalkan diluar negeri, Perancis tempat asal mula film dan bioskop pertama kali muncul. Film pertama yang diputar di Indonesia pada waktu itu adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan hidup ratu Orlanda dan raja Hertog Hendrik dikota Den Haag. Akan tetapi, berulah pada tahun 1926 film cerita , yang masih bisu, pertama kali diproduksi di Indonesia.
Di tahun 1926 inilah, untuk pertama kalinya sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi. Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV. Java Film Company . Dalam produksi film Lutung Kasarung ini, pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priyayi yang berpendidikan.
Sepuluh tahun kemudian, produksi film cerita mulai berjalan dengann lebih teratur. Maka berbagi perusahaan film, yang umumnya pada waktu itu dimiliki oleh pengusaha China mulai berdiri di Jakarta, Sejak saat itu film pun semakin menampilkan diri sebagai produk kesenian hiburan yang bisa dibeli di pasar. Pada masa ini, bioskop sebagai tempat pemutaran film pun terbagi dua; Bioskop mahal dengan film asing adalah santapan tuan besar, sedang bioskop “kelas kambing” yang terletak diwilayah perkampungan adalah hiburan yang bisa dinikmati oleh oleh golongan masayarakat bumiputra (Indonesia) .
Namun, momentum pembuatan film Loetoeng Kasarung dan beberapa film lainya yang diproduksi pada tahun 1921 belum dapat dijadikan sebagai film yang benar-benar digagas dan diproduksi sepenuhya oleh warga asli Indonesia, ini dikarenakan masih mendominasinya keterlibatan perusahaan-perusahaan film serta para tenaga ahli Belanda dan China dalam proses produksinya. Barulah pada tahun 1950 , sebuah film yang disutradari Usmar Ismail (asli warga Indonesia) dengan judul “Darah dan Doa” di produksi dengan melibatkan tenaga ahli warga Indonesia yang ada pada masa itu. Hari pertama shooting (pengambilan gambar) film “Darah dan Doa”, yakni pada tanggal 30 Maret 1950 dijadikan sebagai hari film Nasional yang diperingati setiap tahunya .
Dalam sejarah film Indonesia, para pengusaha film dari Amerika Hollywood telah terlibat sejak awal guna mendistribusikan film-film mereka secara langsung ke Hindia Belanda.
Film sebagai produk seni bazaar, berpengaruh terhadap perkembangan film di Indonesia. Dalam sejarahnya, Film dengan sifat integratif dari seni bazaar ini menjadi problematika sendiri ketika film mulai diproduksi di Indonesia. Pemodal tetap China dan msyarakat kota kolonial, tidak hanya menganggap film sebagai “benda dalam kaleng”, melainkan film juga bisa di Import. Orang-orang Eropa dan masyarakat kelas atas yang tinggal di Jakarta lebih suka membeli film Import, sejak saat itulah para pembuat film sibuk menyesuaikan diri dengan selera dari kalangan masyarakat bawah yang tak terdidik dan hanya sanggup menontonton/dan membeli film murah. Namun karena kondisi inipulah, ketika film mulai berkembang di Indonesia dan disaat Nasionalisme telah mulai meresap dikalangan terpelajar, film seperti juga media lainya mulai dilihat sebagai sarana untuk mencapai kesadaran rakyat banyak. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan masuknya wartawan pribumi kedunia film menjelang jatuhnya Hindia Belanda .
Pada masa film masih bisu, pertunjukan film di Indonesia diiringi dengan musik hidup yang bermain disamping layar . Mutu pada permainanya disesuaikan dengan tingkat bioskop bersangkutan, tempat film diputar. Biasanya, untuk bioskop kecil cukup dengan band murah, bahkan terkadang Cuma diringi sebuah piano saja. Kondisi “film bisu” ini berakhir hingga tahun 1930-an, karena pada tahun ini seiring dengan munculnya teknologi audio-visual telah muncul film bersuara . Dampak dari perkembangan teknologi Audio-Visual tersebut, proyektor yang biasanya digunakan pemutaran “film bisu” harus diganti dengan proyektor seloluid
Pada tahun 1921, tepatnya pada masa penjajahan Belanda, yang disebut sebagai pembuat film pada waktu itu, atau menurut istilah Belanda “operator film”, adalah seorang juru kamera yang merangkap segalanya. Tugas yang dilakukan operator film adalah merekam keadaan alam teropis, hewan liar, keadaan pribumi, adat istiadat, dan objek lainya dari timur yang penuh “misteri”. Biasanya, para pembuat film diwaktu itu berkelana beserta kamera yang harus diputar dengan tangan .
Pada tahun 1941, saat ketegangan konflik pemerintahan Hindia Belanda dengan Jepang semakin memuncak serta memberi pengaruh terhadap kondisi social-politik pada masa itu, maka publik film dari kalangan pers dan terpelajar memberikan harapan dan penenekanan fungsi atas film-film yang diproduksi agar ikut berpartisipasi dalam menyuarakan persiapan menjelang kemerdekaan republik Indonesia, dengan cara meningkaatkan perasaan kebangsaan dalam cerita-cerita filmnya.
Seperti yang diungkapkan Winarno, Pemimpin redaksi Berita Oemoem, ia menulis disaat itu: “Dalam sejarah negeri manapun didunia ini, para ahli seni, sastra/pujangga, dan pelukis memiliki bagian dan peran untuk mempengaruhi, mendorong dan mengalirkan semangat serta perasaan rakyat. Di zaman dulu, cuma ada sastrawan, pujangga dan pelukis-pelukis yang mampu membimbing semangat dan perasaan rakyat. Namun, dimasa sekarang (1941) para ahli film (sutradara, penulis scenario) harus dapat turut memberikan bagianya dalam melahirkan perasaan-perasaan baru guna turut membangun masyarakat baru”.
Selengkapnya...


Selasa, 07 April 2009

Penghargaan Film SlamDog Millionaire



Sebuah film yang disutradarai oleh Danny Boyle, yang pernah menyutradarai film “Trainspotting”, bercerita tentang Jamal Malik, seorang anak Yatim piatu berusia 18 tahun dari kawasan kumuh India, yang memenangkan 20 Juta Rupee dalam sebuah acara televisi. Namun kondisinya yg miskin, membuat polisi tidak percaya ia dapat menjawab semua pertanyaan kuis itu. Dituduh melakukan kecurangan, Jamal mulai menceritakan kisah hidupnya yang mengharukan dan merupakan kunci kemenangannya menuju jutaan rupee tadi.
Film ini berhasil menjadi Box Office di Inggris, Amerika Utara, Australia dan Italia. Tapi tak hanya itu saja, Film ini berhasil memenangkan banyak penghargaan berskala international diantaranya adalah:
2008, Chicago International Film Festival, Winner - Audience Choice Award
2008, Toronto Film Festival, Winner - People's Choice Award
2009, Golden Globe USA, Winner - Best Director - Motion Picture, Danny Boyle
2009, Golden Globe USA, Winner - Best Motion Picture – Drama : Best Original Score - Motion Picture, A.R. Rahman
2009, Golden Globe USA, Winner - Best Screenplay - Motion Picture Simon Beaufoy

Setelah merajai Golden Globe 09, Slumdog Millionaire juga kembali menjadi idola di ajang Academy Awards 2009 melalui sejumlah nominasi, yaitu :
Best Cinematography
Best Film Directing
Best Film Editing
Best Music (score)
Best Music (song)
Best Picture
Best Sound Editing
Best Sound Mixing
Best Writing (adapted screenplay)

Kesolidan Slumdog Millionaire dalam menampilkan Kota Mumbai India secara original juga mendapat pengakuan banyak kritikus film local dan internasional:
The beautifully rendered and energetic tale celebrates resilience, the power of knowledge and the vitality of the human experience. Horrifying, humorous and life-affirming, it is, above all, unforgettable. – USA Today-
This is a breathless, exciting story, heartbreaking and exhilarating at the same time.-Roger Ebert-Chicago Sun Times-
A solidly entertaining and energizing film. – Hollywood Reporter-
Boyle and Beaufoy, working from a novel by Vikas Swarup, uninsistently make the case that the most useful intelligence, in all its forms, comes from life experience – Variety-
"Slumdog Millionaire" merajai Golden Globe 2009 – tempointeraktif.com
Film dengan setting kota Mumbai, India itu berhasil merebut tahta film terbaik. – detik.com
“It’s really good to know that a film that’s so totally Indian can appeal to so many people internationally.” – the jakartaglobeonline.com

by: http://khatulistiwa.net/khatulistiwa.php?c=95&p=8171

Saksikan Film Slumdog Millionaire...! Bagi yang belum nonton bisa hubungi 085711166868 a.n Gundul.
Selengkapnya...


Romeo-Juliet, Anak Kandung Komunitas Film



Oleh : Bk. Jati

KabarIndonesia - Memperbincangkan sebuah film tentu saja tak pernah bisa lepas dari orang-orang yang berada di belakang layar, dan pada merekalah Romeo-Juliet, film fiksi adaptasi karya klasik William Shakespeare yang disutradarai oleh Andibachtiar Yusuf, menyimpan cerita tersendiri dalam hal ini.

Film ini mengandalkan orang-orang yang jauh dari sorotan media dan hingar-bingar dunia industri film Indonesia. Mereka selama ini lebih banyak bergelut di komunitas film pendek pada beberapa kota di Indonesia. Tapi jangan salah, meski banyak pihak yang meragukan, ternyata hasil kerja keras mereka sangat diakui. Ini mereka buktikan dengan masuknya Romeo-Juliet pada Hongkong International Film Festival 2009 yang diselenggarakan pada 23-31 Maret lalu.

"Saya adalah orang yang sangat percaya pada kekuatan kawan-kawan komunitas film pendek Indonesia. Oleh karenanya, tatkala merekrut kru pada awal proses produksi, saya langsung mencatat nama-nama mereka dalam daftar teratas," jelas Yusuf.

Tentu saja ini tak mengherankan, mengingat sang sutradara juga mengawali kariernya dengan membesut banyak film pendek. Salah satu yang sangat fenomenal adalah Hardline, dokumenter pendek tentang fanatisme kelompok suporter Persija Jakarta. Film pendeknya ini terpilih menjadi salah satu film resmi untuk Piala Dunia Jerman 2006.

Dalam menggarap naskah awal, Yusuf mengajak Eddie Cahyono. Eddie merupakan salah satu pendiri komunitas Four Colours Films, Jogjakarta. Tak hanya Eddie yang datang dari Kota Gudeg, karena untuk posisi Art Director, Yusuf mempercayakannya pada Bambang Kuntaramurti.

Bambang yang oleh kawan-kawan komunitas lebih dikenal sebagai sutradara film pendek dari komunitas Video Robber mengaku antusias turut menggarap Romeo-Juliet karena ide cerita yang menarik. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa musik dalam film ini digarap oleh Ananda Sukarlan, komponis musik Indonesia yang diakui internasional. “Saya membayangkan sebuah cerita klasik yang diadaptasi dengan jenius oleh Andibachtiar Yusuf bertemu dengan musik indah Ananda Sukarlan. Keduanya memberikan roh bagi film ini,” jelas Bambang.

Selain Jogjakarta, pegiat komunitas dari Cilacap juga turut andil. Insan Indah Pribadi dari komunitas film pendek Sangkanparan, mengaku banyak belajar dalam produksi ini. Posisinya sebagai kru lighting memberikan banyak tambahan keahlian, apalagi Insan mengaku bahwa selama ini masih banyak komunitas film pendek di Indonesia yang kurang memperhatikan teknik pencahayaan dalam sebuah produksi. “Saya jadi semakin tahu betapa pentingnya perihal pencahayaan dalam sebuah produksi setelah bergabung dalam Romeo-Juliet,” tutur Insan.

Pada awal bagian film Romeo-Juliet, kita akan melihat opening berupa animasi. Pada bagian inilah Astu Prasidya mengambil peran. Astu adalah pegiat komunitas film animasi K-Deep, Malang. Sebelumnya, Astu telah memenangi Jiffest Script Development 2005. “Secara ide, belum pernah ada film fiksi yang mengangkat tema tentang suporter sepakbola Indonesia. Padahal kelompok suporter sepakbola ini adalah bagian nyata yang ada dalam masyarakat kita. Mereka sangat fanatik dan loyal terhadap klub masing-masing, bahkan seburuk apapun prestasi klub tersebut,” papar Astu bersemangat.

Dalam Romeo-Juliet ini, Yusuf yang juga berperan sebagai produser, tetap mempertahankan editor yang juga bersamanya tatkala menggarap “The Conductors”, film dokumenter peraih Piala Citra FFI 2008, Darwin Nugraha. Sejak awal tahun 2000-an, Darwin telah berkecimpung dalam dunia film pendek dengan mendirikan komunitas Buldozer Films. Tak hanya Darwin yang dipertahankan oleh Yusuf. Director of Photography juga tetap ia percayakan pada Faiz Cemonk Cocona Hayat yang telah mendampingi Yusuf dalam film-film sebelumnya.

Bagi Cemonk, Romeo-Juliet adalah film yang sangat berarti dalam kariernya. “Selama 12 tahun saya terlibat di komunitas dan selama itu pula saya menantikan untuk menggarap film sedahsyat ini,” kata Cemonk dengan suara bergetar karena semangat. Lelaki asal Papua ini mengaku puas dengan proses produksi Romeo-Juliet. Ini dibuktikannya dengan pujian seorang filmmaker ternama Indonesia terhadap hasil garapannya. “Lo tuh satu bukti buat orang-orang, bahwa untuk jadi DoP handal tuh gak perlu lulus dari IKJ,” kata Cemonk sembari tertawa, menirukan ucapan si sutradara ternama tadi.

Ya, Cemonk memang tak pernah lulus dari Institut Kesenian Jakarta, dan ia telah membuktikan bahwa pilihannya tak salah. “Saya justru belajar banyak dari kawan-kawan komunitas film pendek di beberapa kota. Dari obrolan bersama mereka, saya jadi paham betul bahwa kamera bukanlah semata-mata masalah teknis seperti yang dipelajari di kampus,” tutur Cemonk serius.

Ucapan Cemonk kiranya mewakili banyak kru yang berada di belakang layar Romeo-Juliet. Simak saja, Andibachtiar Yusuf tidak pernah mengenyam sekolah film, Astu Prasidya seorang desainer grafis, Bambang Kuntaramurti adalah seorang sarjana ekonomi, Insan Indah Pribadi tukang syuting kawinan dan Darwin Nugraha dulunya adalah seorang pemilik rental DVD bajakan di Jogjakarta. Dari tangan orang-orang macam mereka itulah Romeo-Juliet lahir dan diakui. Film ini adalah anak kandung komunitas film di Indonesia. [*]

by: http://www.kabarindonesia.com/
at: 31-Mar-2009, 00:54:16 WIB
Selengkapnya...


SiGI Community Punya Acara



Agen LSO SiGI Community
* Diskusi Film (1x 2 minggu) at 8 dan 22 April; 6 dan 20 Mei; 3 dan 17 Juni; 16 dan 30 September; 14 dan 28 Oktober; 11 dan 25 November, 9 Desember 2009
* Seminar Film (1x 3 bulan) at Mei dan Oktober 2009
* Workshop Produksi Film (2x 3 bulan) at 9 Mei; 4 Juni; 19 September; 14 November 2009
* Produksi Film at September, Oktober, dan Desember

Lain-lain yang belum terjadwal:
* Insidental: bedah film
* Kunjungan ke tempat-tempat penting dalam dunia perfilman
* Screening film bersama sahabat-sahabat
* Studi banding dengan komunitas lain
* Nonton bareng ke bioskop.
Selengkapnya...


Sejarah Perfilman Nasional



Film pertamakali diperkenalkan kepada khalayak Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu) pada tanggal 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Pada masa ini film disebut sebagai “Gambar Idoep". Hal ini tRata Penuhermaktub dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900): "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50."
Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Selain itu juga diadakan pertunjukan khusus seminggu sekali untuk anak-anak yang harus diantar oleh orangtuanya.
Selain melakukan promosi di surat kabar dengan kalimat-kalimat yang terkesan bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ditambah kelasnya menjadi 4 kelas. Kelas yang ditambah adalah Loge (VIP) dan Kelas III (kemudian disebut kelas "kambing" yang identik dengan pribumi). Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.
Namun film yang sebenar-benarnya dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng yang dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, dengan dukungan Wiranatakusumah V (Bupati Bandung pada masa itu. Pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).
Pada masanya, gedung bisokop ini dibangun sebagai bagian yang terpisahkan dari kawasan Jalan Braga, Bandung. Sebuah kawasan belanja bergengsi bagi para Meneer Belanda pemilik perkebunan. Bioskop ini, didirikan untuk keperluan memuaskan hasrat para Meneer itu akan sarana hiburan di samping sarana perbelanjaan. Didirikan pada awal dekade tahun ’20-an dan selesai tahun 1925 dengan arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker.
Pemutaran film pada masa ini, biasanya didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Pemutaran filmnya sendiri baru dimulai pukul 19.30 dan 21.00. Sebelum film diputar, di pelataran bioskop Majestic, sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian. Menjelang film akan mulai diputar, orkes mini ini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Maklum saja pada pertengahan tahun 1920-an itu film masih meruapakan film bisu. Pada masa itu, sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Di bioskop majestic tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri.

ERA 1930 - 1941
Tahun 1931-an, Perfilman Indonesia mulai bersuara. Bahkan film dari Hollywood yang masuk sudah menggunakan teks melayu. Sejarah mencatat, pelopor film bersuara dalam negeri adalah Atma de Vischer yang diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Menyusul Eulis Atjih (masih dari produser yang sama). Setelah kedua film ini diproduksi, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film lainnya seperti: Halimun Film Bandung yg membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yg memproduksi Setangan Berloemoer Darah.
Menyusul Resia Boroboedoer, Nyai Dasima (film bicara pertama, tahun 1932), Rampok Preanger, Si Tjomat, Njai Siti, Karnadi Anemer Bengkok, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nyai Dasima II dan III, Si Ronda dan Ata De Vischer, Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, Terpaksa Menika (film berbicara-musik) dan Zuster Theresia.
Selama kurun waktu itu (1926 - 1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskopun ikut meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, Filmrueve, hingga tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop-bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota-kota kecil seperti: Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.
Pada periode 1933-1936, perfilman Hindia Belanda diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya: Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.
Di tahun 1937, Film musikal "Terang Boelan" (het Eilan Der Droomen) menjadi film terpopuler di eranya dan mencuatkan nama Roekiah serta Raden Mochtar sebagai pasangan aktror dan aktris yang paling digemari. Film ini adalah produksi dua kekuatan non-pribumi: Krugers dan Wong Bersaudara.
Hingga periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China. Pada periode ini, produksi film Indonesia mengalami panen pertama kali dan mencapai puncaknya pada tahun 1941. Ditahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yg diproduksi, terdiri dari 30 film cerita dan 11 film bersifat dokumenter. Film-film yang diproduksi pada masa ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga.
Tahun 1934 para pelaku industri film mulai membentuk organisasi Gabungan Bioskop Hindia (Nederlandsch Indiche Bioscoopbond), menyusul adanya organisasi Gabungan Importir Film (Bond van Film Importeurs). Pada awalnya, pengurus dan anggotanya adalah orang-orang non-pribumi. Ketika dalam organisasi tersebut mulai masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana ‘nasionalisme’, pemerintah Hindia Belandapun mulai mencurigai badan tersebut sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka.
Oleh karenanya, Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman dengan membentuk Film Commissie (cikal bakal lahirnya Badan Sensor Film atau LSF di masa kini. Dasar hukumnya yang menjadi landasan dibetuknya Film Commisie adalah Film Ordonantie buatan Pemerintah Belanda (cikal bakal lahirnya BP2N dan Undang-Undang Perfilman Indonesia di masa kini).

ERA 1942 - 1944
Pada masa ini gerakan politik nasionalisme perfilman mulai sarat dengan nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan. Para seniman atau artis dituntut punya tanggungjawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineaspun mulai menggagas, perlunya Klub Kritisi dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa dan Belanda.
Gayung bersambut. Kalangan film menanggapi respon politik tersebut dengan melahirkan organisasi bernama SARI (Sjarikat Artist Indonesia) pada 28 Juli 1940 di Prinsen Park (Lokasari Jakarta, di masa kini) yang dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan.
Tatkala Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Hal pertama yang dilakukan mereka adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik Te Teng Chun serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Wong Bersaudara pun beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. Sementara Te Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Sementara para artisnya kembali ke media tonil atau sandiwara.
Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.
Kemudian Pemerintah Militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha (cikal bakal lahirnya PFN di masa kini) pada bulan September 1942. Dan berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943, Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda. Di kantor ini pula menjadi tempat pertama kali sineas pribumi mempelajari dan membuat sebuah film. Para sineas yang temasuk di dalamnya antara lain: Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto, Kaharudin, Armijn Pane, Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak.
Pada masa ini, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang. Dan menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris).
Nama-nama bioskop pun banyak yang diganti, misalnya: Rex Bioscoop di Jakarta menjadi Yo Le Kwan, Emma Bioscoop di Malang menjadi Ki Rak Kwan, Central Bioscoop di Bogor menjadi Thoeo Gekijo.
Untuk menarik hati kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, dibuat terbuka untuk pribumi.
Namun perfilman dan bioskop pada masa pendudukan Jepang ini juga mengalami masa dilematis. Jumlah bioskop semakin hari semakin menurun tajam. Dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan.
Sejarah mencatat hanya sedikit film yang lahir masa ini, seperti: Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd. Arifien; Di Desa dan Di Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih; Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang punya jabatan dalam Pemerintahan Militer Jepang.
Dalam suasana politik seperti itu timbullah kesadaran kaum pribumi dalam melihat film bukan semata produk industri dan hiburan semata, melainkan juga sebagai media perjuangan. Tokoh pergerakan seperti Dr. Adnan K Gani pun ikut main dalm sebuah film.
Tapi karena produksi film makin hari makin surut, maka kegiatan para aktivis lebih banyak ke arah diskusi dan strategi politik. Dari aktifitas ini mulai muncul nama-nama pendekar seni, seperti: Usmar Ismail, Jayus Siagian, D. Jayakusuma. Ketiga orang inilah yang menghidupkan klub diskusi film lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun baru beberapa bulan kemudian ditutup oleh Pemerintah Militer Jepang.
Di masa-masa inilah Usmar Ismail membuat sajak berjudul Tjitra dan digubah oleh Cornel Simanjuntak menjadi lagu. Sajak dan lagu Tjitra pertama kali dipublikasikan di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Di tahun 1946, sajak dan lagu tersebut difilmkan oleh Usmar Ismail.
Iklim politik mulai berubah, tatkala Jepang mulai terdesak di sana-sini hingga masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hanya dalam hitungan hari, berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa tapi juga di Sumatera. Pergerakan berbau pulotik ini kebanyakan diusung lewat kelompok-kelompok sandiwara. Di antaranya: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, D. Jajakusuma, Suryosumanto dan lain-lain mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka; Sementara itu di Sumatera Barat ada Sjamsoedin Syafei yang menggerakkan kelompok Ratu Asia.
Studio film Jepang, Nippon Eigha Sha, direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan RM Soetarto. Pada masa ini pula lahir Berita Film Indonesia atau BFI.
Pada masa ini pula lahir tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia. Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).
Pada tahun 1946, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan darurat. Oleh karenanya di kota ini berdiri sekolah film bernama Cine Drama Institute atau CDI. Dan pendirinya, antara lain: Djamaluddin Malik dan Mr Soedjarwo. Lalu muncul juga sekolah film bernama KDA yang dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Soemardjo, Kusbini dan lain-lain. Para pendiri KDA ini juga mendirikan Stichting Hiburan Mataram yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit.
Film Indonesia yang lainnya yang diproduksi setelah kemerdekaan ini, antara lain: Air Mata Mengalir di Tjitaroem yang disutradarai oleh Rustam St Panidih, Anggrek Boelan (Anjar Asmara), Djaoeh Dimata (Anjar Asmara), Aneka Warna (Moh Said), Bengawan Solo (Jo An Tjiang), Harta Karun (Usmar Ismail), Menanti Kasih (Moh Said), Sehidup Semati (Fred Young), dan Tjitra (Usmar Ismail).
Pada era ini, minat masyarakat terhadap film-film Hollywood muncul kembali lagi. Film-film ini masuk dengan sangat mudah melalui sebuah agen pengimpor film yang dikenal dengan sebutan AMPAI (American Motions Pictures Asociation in Indonesia) yang merupakan perwakilan dari perusahaan-perusahaan film, seperti: Paramount, Universal, 21Century Fox, MGM, Columbia, dsb. Masuknya film-film impor ini dengan mudah ke tanah air karena sama sekali tak dibatasi kuota impornya.

by: http://18-detik.blogspot.com/2009/02/sejarah-perfilman-nasional.html
Selengkapnya...