Rabu, 08 April 2009

Sejarah Film Indonesia - part 1



Oleh Abdul R S El midanny

Film pertama kali lahir diparuh kedua abad 19, dibuat dengan bahan dasar seluloid yang sangat mudah terbakar, bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sesuai perjalanan waktu, para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film agar lebih aman, lebih mudah diproduksi dan lebih enak ditonton .
Untuk memahami sejarah perfilman di Indonesia, situasi social bahkan pergolakan politik yang langsung ataupun tidak melatari perkembanganya perlu dimengerti dengan baik terlebih dahulu Seperti yang diungkapkan oleh seorang pakar film Sigfried Kracauer “Umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita dan perkembaangan film suatu bangsa hanya dapat difahami secara utuh dalam hubunganya dengan pola psikologis aktual bangsa itu” . Jika sebuah situasi sosial, urbanisasi dan diferensiasi kerja menunjukan terbentuknya suatu struktur yang akhirnya memberi kemungkinan bagi tumbuhnya hiburan yang bercorak bazaar, seperti film ini, maka pertumbuhan budaya kota, adalah situasi cultural yang menyalurkan simbol-simbolnya lewat media film itu.

Sejarah tentang perfilman Indonesia dimulai sejak 5 Desember 1900 M, pada saat itu masyarakat Kota Jakarta (dulunya disebut Kota Batavia) untuk pertama kali mendapat kesempatan melihat gambar idoep (Film) . Tepatnya selang beberapa tahun setelah “benda ajaib” itu diperkenalkan diluar negeri, Perancis tempat asal mula film dan bioskop pertama kali muncul. Film pertama yang diputar di Indonesia pada waktu itu adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan hidup ratu Orlanda dan raja Hertog Hendrik dikota Den Haag. Akan tetapi, berulah pada tahun 1926 film cerita , yang masih bisu, pertama kali diproduksi di Indonesia.
Di tahun 1926 inilah, untuk pertama kalinya sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi. Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV. Java Film Company . Dalam produksi film Lutung Kasarung ini, pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priyayi yang berpendidikan.
Sepuluh tahun kemudian, produksi film cerita mulai berjalan dengann lebih teratur. Maka berbagi perusahaan film, yang umumnya pada waktu itu dimiliki oleh pengusaha China mulai berdiri di Jakarta, Sejak saat itu film pun semakin menampilkan diri sebagai produk kesenian hiburan yang bisa dibeli di pasar. Pada masa ini, bioskop sebagai tempat pemutaran film pun terbagi dua; Bioskop mahal dengan film asing adalah santapan tuan besar, sedang bioskop “kelas kambing” yang terletak diwilayah perkampungan adalah hiburan yang bisa dinikmati oleh oleh golongan masayarakat bumiputra (Indonesia) .
Namun, momentum pembuatan film Loetoeng Kasarung dan beberapa film lainya yang diproduksi pada tahun 1921 belum dapat dijadikan sebagai film yang benar-benar digagas dan diproduksi sepenuhya oleh warga asli Indonesia, ini dikarenakan masih mendominasinya keterlibatan perusahaan-perusahaan film serta para tenaga ahli Belanda dan China dalam proses produksinya. Barulah pada tahun 1950 , sebuah film yang disutradari Usmar Ismail (asli warga Indonesia) dengan judul “Darah dan Doa” di produksi dengan melibatkan tenaga ahli warga Indonesia yang ada pada masa itu. Hari pertama shooting (pengambilan gambar) film “Darah dan Doa”, yakni pada tanggal 30 Maret 1950 dijadikan sebagai hari film Nasional yang diperingati setiap tahunya .
Dalam sejarah film Indonesia, para pengusaha film dari Amerika Hollywood telah terlibat sejak awal guna mendistribusikan film-film mereka secara langsung ke Hindia Belanda.
Film sebagai produk seni bazaar, berpengaruh terhadap perkembangan film di Indonesia. Dalam sejarahnya, Film dengan sifat integratif dari seni bazaar ini menjadi problematika sendiri ketika film mulai diproduksi di Indonesia. Pemodal tetap China dan msyarakat kota kolonial, tidak hanya menganggap film sebagai “benda dalam kaleng”, melainkan film juga bisa di Import. Orang-orang Eropa dan masyarakat kelas atas yang tinggal di Jakarta lebih suka membeli film Import, sejak saat itulah para pembuat film sibuk menyesuaikan diri dengan selera dari kalangan masyarakat bawah yang tak terdidik dan hanya sanggup menontonton/dan membeli film murah. Namun karena kondisi inipulah, ketika film mulai berkembang di Indonesia dan disaat Nasionalisme telah mulai meresap dikalangan terpelajar, film seperti juga media lainya mulai dilihat sebagai sarana untuk mencapai kesadaran rakyat banyak. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan masuknya wartawan pribumi kedunia film menjelang jatuhnya Hindia Belanda .
Pada masa film masih bisu, pertunjukan film di Indonesia diiringi dengan musik hidup yang bermain disamping layar . Mutu pada permainanya disesuaikan dengan tingkat bioskop bersangkutan, tempat film diputar. Biasanya, untuk bioskop kecil cukup dengan band murah, bahkan terkadang Cuma diringi sebuah piano saja. Kondisi “film bisu” ini berakhir hingga tahun 1930-an, karena pada tahun ini seiring dengan munculnya teknologi audio-visual telah muncul film bersuara . Dampak dari perkembangan teknologi Audio-Visual tersebut, proyektor yang biasanya digunakan pemutaran “film bisu” harus diganti dengan proyektor seloluid
Pada tahun 1921, tepatnya pada masa penjajahan Belanda, yang disebut sebagai pembuat film pada waktu itu, atau menurut istilah Belanda “operator film”, adalah seorang juru kamera yang merangkap segalanya. Tugas yang dilakukan operator film adalah merekam keadaan alam teropis, hewan liar, keadaan pribumi, adat istiadat, dan objek lainya dari timur yang penuh “misteri”. Biasanya, para pembuat film diwaktu itu berkelana beserta kamera yang harus diputar dengan tangan .
Pada tahun 1941, saat ketegangan konflik pemerintahan Hindia Belanda dengan Jepang semakin memuncak serta memberi pengaruh terhadap kondisi social-politik pada masa itu, maka publik film dari kalangan pers dan terpelajar memberikan harapan dan penenekanan fungsi atas film-film yang diproduksi agar ikut berpartisipasi dalam menyuarakan persiapan menjelang kemerdekaan republik Indonesia, dengan cara meningkaatkan perasaan kebangsaan dalam cerita-cerita filmnya.
Seperti yang diungkapkan Winarno, Pemimpin redaksi Berita Oemoem, ia menulis disaat itu: “Dalam sejarah negeri manapun didunia ini, para ahli seni, sastra/pujangga, dan pelukis memiliki bagian dan peran untuk mempengaruhi, mendorong dan mengalirkan semangat serta perasaan rakyat. Di zaman dulu, cuma ada sastrawan, pujangga dan pelukis-pelukis yang mampu membimbing semangat dan perasaan rakyat. Namun, dimasa sekarang (1941) para ahli film (sutradara, penulis scenario) harus dapat turut memberikan bagianya dalam melahirkan perasaan-perasaan baru guna turut membangun masyarakat baru”.


0 komentar: